Friday, February 24, 2017

MELONGOK KAMPUNG WARNA WARNI

Pada liputan kali ini saya ingin sekali mengunjungi Kampung Warna Warni Jodipan, yang beberapa waktu silam sempat mencuri perhatian saya saat perjalanan pulang kampung. Saya berfikir ini benar2 ide yang sangat brilian, dengan perubahan seperti sekarang, tidak hanya secara fisik saja berubahnya, tetapi mindset dan habit para penghuninya juga ikut berubah, seperti lebih menjaga kebersihan, lebih menjaga nama baik tempat tinggalnya. Menurut beberapa sumber, Kampung Jodipan adalah kampung yang digagas delapan mahasiswa jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Mereka mengajukan proposal program corporate social responsibilities perusahaan cat untuk mewujudkannya. Pada awalnya memang ada yang pro dan kontra, tetapi setelah beberapa rumah sudah dicat dengan warna-warni, warga berramai-ramai minta rumahnya juga ikut dicat. Alhasil jadinya seperti sekarang ini, jadi lebih keren dan jauh dari kesan kumuh. Konon dibeberapa negara juga sudah mempunyai perkampungan warna-warni seperti ini, seperti Brasil. Untuk masuk kekampung ini cukup merogoh kocek Rp.2.000,- sampai Rp.3.000,-. Berikut foto-foto yang sempat saya ambil (kampung 3 D belum sempat saya dokumentasi). (Foto2 by Didiet DSH, 30 Januari 2017)
Pemandangan dari atas jembatan Jodipan kali Brantas, sebelah kanan adalah Kampung 3D

Kampung Warna Warni yang cukup fenomenal

Warna warni yang diperkuat oleh payung2 keren

Bahkan selintas ada seseorang yang menggunakan baju belang hampir menyatu dengan tembok...hihihi

View Favorit untuk ber"narsis" ria

Lorong2nya pun terlihat menarik

Memberikan keuntungan finansial tambahan bagi penghuninya

Lukisan2 yang sangat menarik oleh tangan-tangan yang kreatif

Botol bekaspun tak luput dari kreatifitas mereka

Lorong Bola

Kombinasi warna yang romantis

Pemandangan yang selaras antara kereta api dan jembatan yang sudah diwarnai

Wah...ada yang melongok dari dalam rumah

Taman Pustaka, hmmm....tapi sepertinya tidak ada yang mau baca, karena sibuk bernarsis ria

Friday, February 17, 2017

SIMBIOSIS MUTUALISMA

Meski berbeda jenis, ukuran dan warna, kedua binatang ini tampak akur dan terasa damai menikmati alam sekitarnya. Tidak ada saling iri dan cemburu antara keduanya. Si kerbau tidak iri melihat bangau bisa seenaknya pindah sana sini beterbangan bebas kemana-mana, dia tetap menikmati apa saja yang ada didepannya tanpa mengacuhkan. Si bangau juga tidak iri dengan ketegapan si kerbau, dengan ukurannya yang besar dan begitu percaya diri tanpa rasa takut terhadap manusia. Si bangau merasa aman dan damai hidup berdampingan dengan sang kerbau. Itulah kebersamaan yang sebenarnya. Satu sama lain hidup sebagaimana alam memberi karunia unik terhadap masing-masing mahluk dengan toleransi. (Didiet DSH, @Tabanan Januari 2017)

Friday, February 10, 2017

JAGUNG

Berdasarkan ciri bijiannya menurut Wikipedia, dikenal beberapa kelompok kultivar jagung :

1. Tunicata (Podcorn, jagung bersisik, merupakan kelompok kultivar yang dianggap paling primitif)

2. Indentata (Dent, jagung gigi-kuda)

3. Indurata (Flint, jagung mutiara)

4. Saccharata (Sweet, jagung manis)

5. Everta (Popcorn, jagung berondong)

6. Amylacea (Floury corn, jagung tepung

7. Glutinosa (Sticky/glutinuous corn, jagung ketan)

Jagung merupakan bahan pangan karbohidrat paling banyak digunakan di muka bumi. Di Malang, bahkan jagung sudah dijadikan bahan pangan pengganti nasi atau campuran nasi. Yakni nasi jagung dan nasi empog. Jagung sendiri bisa dibuat aneka produk turunannya, seperti emping, kerupuk, cookies, kastengels, susu jagung, dll. Sayangnya bidang pertanian dan perkebunan kadang-kadang kurang menarik investor, padahal bidang pertanian dan perkebunan adalah andalan utama negeri ini sesuai potensi alamnya. (Malang, Desember 2017)


Thursday, February 2, 2017

KULINER

SOTO TUMPANG

Sewaktu kami berkeliling untuk melihat-lihat suasana Malang Timur diwaktu pagi, kami ingin mencoba sarapan pagi yang agak segar di desa Glagahdowo, kec. Tumpang. Kami memilih soto yang tampaknya bisa sedikit menghangatkan semangat pagi ini. Setelah memesan untuk porsi dua orang, tak berapa lama suguhan langsung terhidang didepan mata. Aromanya membuat perut berteriak agar segera dipertemukan dengan kuahnya yang terlihat kental. Pada sendokan pertama yang masuk ke mulut langsung membuat memori serasa terlempar kemasa kecil, mengingatkan sebuah cita rasa kelezatan dimasa lalu...mmm..bubuk sotonya, kuahnya yang kental dan ayam suwirnya sangat sesuai dengan harapan sebuah cita rasa soto ayam sebenarnya. Harganya cukup terjangkau dengan porsi yang mengenyangkan. Kami sepakat memberi rating
Memang rasanya mak nyuss...

Warung tampak depan
Porsi cukup mengenyangkan, harga sesuai

TEMBANG JAWA INDENTIK KUNTILANAK

Suatu kali saya pernah lihat acara tv, semacam guyon2 gitu atau sejenisnya. Pada suatu scene saya lihat salah satu host dikerjai oleh tim dengan diperdengarkan tembang atau kidung Jawa dengan iringan gamelan, ternyata tim kreatif tahu kelemahan si host tersebut, yaitu paranoid setiap mendengar kidungan yang diiringi gamelan karena mengingatkannya akan film kuntilanak. Dan si host tersebut memang benar2 ketakutan mendengar tembang indah yang disuarakan oleh sang sinden. Hmmm... Lucu? Dilain kesempatan ada kawan yang cerita sedang pergi ke sebuah spa untuk relaksasi, disana diperdengarkan alunan tembang Jawa sebagai pelengkap relaksasi, teman saya yang tadinya pengen santai akhirnya hilang mood karena alunan tembang Jawa diiringi gamelan. Alasannya sama, seram... teringat kuntilanak. Saya berfikir ada yang salah nih, bagaimana bisa sebuah alunan nada indah yang kadang berisi nasihat2 baik dan bijak untuk kehidupan bisa berimej jadi lagu horor? Rupanya film2 dan sinema elektronik, acapkali membuat latar suara bernuansa Jawa sebagai bagian dari produksi tema horornya. Sebagai orang Jawa, saya agak prihatin dengan keadaan ini, sekaligus kesal, bagaimana bisa membangkitkan rasa cinta budaya sendiri kepada generasi penerus, bila kebanyakan film bergenre horor (yang kebetulan banyak yang suka, termasuk anak2 kecil) terus ditempeli dengan imej tembang Jawa yang merupakan warisan budaya adiluhung ini. Padahal disana ada ajaran budi pekerti baik, ajaran kepedulian, ajaran berkeTuhanan. Saya keberatan dengan label horor pada tembang Jawa ini. Hargailah budaya kita paling tidak untuk acara2 atau film yang bertema fun atau yang lebih edukatiflah. Sebaiknya penggunaan budaya Jawa adiluhung untuk film non edukatif terutama horor ditinjau kembali. (Didiet DSH, akhir Januari 2017)